Ketika Anda naik bis kota, atau melintasi persimpangan jalan yang ada lampu merahnya, atau berjalan di trotoar di pusat kota, atau berada di keramaian, apa yang Anda temui di sana? Ya, mungkin Anda melihat di sana ada pengemis-pengemis yang bertebaran atau dalam pernyataan yang paling ekstrem kita katakan ’bergentayangan’. Mereka memang seperti hantu yang bergentayangan menggoda manusia (orang lain) dalam penampakan yang berbeda-beda, ada yang pura-pura cacat kakinya (buntung/lumpuh), ada yang mendandani tubuhnya sehingga seolah-seolah mengidap sakit yang parah, menggunakan bayi sewaan untuk memberi kesan ‘menderita’, ada pula yang hanya memasang tampang melas, ada yang pura-pura buta, bahkan ada yang melakukannya dengan cara menodong orang demi mendapatkan apa yang mereka inginkan.
Penelitian tentang pengemis oleh Dr. Engkus Kuswarno (Penelitian Konstruksi Simbolik Pengemis Kota Bandung ) menyebut ada lima ketegori pengemis menurut sebab menjadi pengemis, yaitu:
1. Pengemis Berpengalaman: lahir karena tradisi. Bagi pengemis yang lahir karena tradisi, tindakan mengemis adalah sebuah tindakan kebiasaan. Mereka sulit menghilangkan kebiasaan tersebut karena orientasinya lebih pada masa lalu (motif sebab).
2. Pengemis kontemporer kontinu tertutup: hidup tanpa alternatif. Bagi kelompok pengemis yang hidup tanpa alternatif pekerjaan lain, tindakan mengemis menjadi satu-satunya pilihan yang harus diambil. Mereka secara kontinyu mengemis, tetapi mereka tidak mempunyai kemampuan untuk dapat hidup dengan bekerja yang akan menjamin hidupnya dan mendapatkan uang.
3. Pengemis kontemporer kontinyu terbuka: hidup dengan peluang. Mereka masih memiliki alternatif pilihan, karena memiliki keterampilan lain yang dapat mereka kembangkan untuk menjamin hidupnya. Hanya saja keterampilan tersebut tidak dapat berkembang, karena tidak menggunakan peluang tersebut dengan sebaik-baiknya atau karena kekurangan potensi sumber daya untuk dapat mengembangkan peluang tersebut.
4. Pengemis kontemporer temporer: hidup musiman. Pengemis yang hanya sementara dan bergantung pada kondisi musim tidak dapat diabaikan keberadaannya. Jumlah mereka biasanya meningkat jika menjelang hari raya. Daya dorong daerah asalnya karena musim kemarau atau gagal panen menjadi salah satu pemicu berkembangnya kelompok ini.
5.Pengemis rerencana: berjuang dengan harapan. Pengemis yang hidup berjuang dengan harapan pada hakikatnya adalah pengemis yang sementara (kontemporer). Mereka mengemis sebagai sebuah batu loncatan untuk mendapatkan pekerjaan lain setelah waktu dan situasinya dipandang cukup.
Dari hasil penelitian di atas, kita ketahui bahwa mengemis merupakan pilihan yang tidak semata-mata disebabkan oleh keterhimpitan ekonomi (kemiskinan) atau keterbatasan fisik (ketuaan/cacat tubuh)—dua hal yang sering dijadikan alasan tindakan mengemis—yang kedua-duanya menyebabkan hilangnya kesempatan kerja, akan tetapi juga disebabkan faktor lain, seperti faktor tradisi suatu masyarakat yang menjadikan mengemis sebagai profesi; kekurangan potensi sumber daya untuk dapat mengembangkan peluang; dan kondisi musiman, sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Namun demikian, penelitian tersebut ternyata tidak memperhitungkan faktor individu sebagai makhluk yang memegang nilai-nilai hidup, dengan kata lain, hasil penelitian tersebut hanya dirumuskan berdasarkan penemuan faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi individu, padahal faktor yang paling mendasar sebagai sebab individu memilih untuk mengemis atau tidak mengemis adalah nilai-nilai yang dihayati individu. Boleh saja stimulus-stimulus eksternal mendorong individu untuk melakukan sesuatu, akan tetapi kalau ia memegang kuat nilai-nilai yang berlawanan dengan dorongan stimulus tersebut apa individu akan megikuti dorongan stimulus? Hidup kita, pilihan-pilihan kita dan keputusan untuk berbuat atau tidak berbuat, sesungguhnya sadar atau tidak sadar telah melalui pertimbangan nilai-nilai yang kita hayati.
0 komentar:
Posting Komentar